Minggu, 26 Oktober 2014

Sistem Transportasi di Jakarta, Indonesia



Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri atas 5 pulau besar, ratusan pulau sedang serta ribuan pulau kecil. Ribuan pulau ini dipersatukan laut dan angkasa menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Laut dan angkasa adalah prasarana perangkutan yang harus dipandang sebagai pemersatu pulau-pulau menjadi kesatuan wilayah negara, bukan lagi sebagai pemisah antara satu pulau dengan pulau lainnya. (Warpani, 1997)
Rentang wilayah negara mengharuskan penanganan moda transportasi angkutan darat, laut dan udara secara terpadu untuk mewujudkan sistem angkutan nasional yang andal, efektif dan efisien. Setiap moda angkutan memiliki karakter khas, keunggulan dan kelemahannya. Moda transportasi darat, laut dan udara harus menjadi kesatuan sistem agar dapat menjawab tujuan perangkutan, yakni melayani perpindahan atau mobilisasi orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain.

Untuk menjawab tantangan itu, disusun Sistem  Transportasi Nasional (Sistranas) yang bertujuan mewujudkan perangkutan yang andal dan berkemampuan tinggi dalam menunjang sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan peningkatan hubungan internasional.
Moda transportasi darat dalam sistem angkutan di Indonesia terdiri atas angkutan jalan, angkutan jalan rel serta angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Jaringan perangkutan darat tersusun dalam suatu jaringan pelayanan yang menghubungkan seluruh pusat kegiatan di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dalam seluruh sistem yang terdiri atas matra darat, laut dan udara, jaringan angkutan darat menjadi titik simpul antarmoda yang vital. Ia menjadi mata rantai awal/akhir moda angkutan laut dan udara pada titik terminal yang semuanya di daratan.
Kota Jakarta sebagai ibukota negara dengan beragam aktivitas yang tentunya melibatkan banyak sekali individu dalam sistem yang berlaku di dalamnya. Daerah  hinterland yang menjadi tujuan untuk bertempat tinggal adalah Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Bodetabek). Penduduk pinggiran dalam melakukan aktivitas kesehariannya termasuk kedalam kelompok penglaju (commuter).
Data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunjukkan, kebutuhan perjalanan per hari dengan angkutan umum dari Bodetabek ke Jakarta dan sebaliknya makin meningkat. Pada tahun 2002, misalnya, tercatat 7,3 juta perjalanan per hari, tahun 2010 diperkirakan menjadi 9,9 juta perjalanan per hari, dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 13 juta perjalanan setiap hari. Perjalanan ulang alik Tangerang-Jakarta pada tahun 2010 akan mencapai 1.078.963 dan tahun 2010 menjadi 1.465.912. Adapun perjalanan Bogor-Depok-Jakarta dan sebaliknya pa- da tahun 2010 diperkirakan 791.295 dan pada tahun 2020 melesat menjadi 1.148.528. Perjalanan Bekasi-Jakarta dan sebaliknya cenderung lebih rendah. Tahun 2010 diprediksi 693.099 dan tahun 2020 mencapai 940.834. Angka-angka prediksi ini masuk akal karena pertumbuhan kawasan perumahan baru ke arah Tangerang dan Banten, juga masih ke arah Depok dan Bogor.
Mobilitas masyarakat yang semakin berkembang sangat menuntut tersedianya pelayanan angkutan umum, disamping prasarana jalan untuk mengakomodasi permintaan perjalanan tersebut. Dalam penyediaan sarana transportasi juga perlu diperhatikan kualitas layanan, terutama keselamatan. Dalam Bab I UU No. 22 tahun 2009, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan diartikan sebagai suatu keadaan tehindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan/atau lingkungan. Keselamatan transportasi di Indonesia nampaknya masih menjadi perhatian besar. Tingginya tingkat kecelakaan menjadi penyebabnya. Isu yang menjadi penyebab tingginya tingkat kecelakaan tersebut di antaanya adalah isu sumber daya manusia (human resources issues), isu utama (main issues), isu fasilitas (facility issues), isu infrastruktur (infrastructure issues). (http://www.dephub.go.id/)
Isu sumber daya manusia (human resources issues) yaitu rendahnya kedisiplinan akan aturan lalu lintas, rendahnya kesadaran akan keselamatan publik, official competency dalan keselamatan lalu lintas masih belum mencukupi. Isu utama (main issues) yaitu  rendahnya koordinsi antara stekeholders dengan safety handling, kurangnya dukungan organisasi dan financial, penegakan hukum yang tidak membawa efek jera dan sistem informasi yang belum mencukupi. Isu fasilitas (facility issues) yaitu keadilan kendaraan bermotor, ketersediaan safety facility bagi kendaraan, desain dan teknologi kendaraan, pemeliharaan kendaraan. Isu infrastruktur (infrastructure issues) yaitu kondisi jalan dan jembatan, jalan kereta api, rambu-rambu lalu lintas, peralatan penguji kendaraan, jembatan timbang.
How Much is National Loss?
(estimated)
Condition
Numbers of victim
Total cost (million Rp)
Fatal
30.464
9.972.037
Serious
450.000
9.614.672
Slight
2.100.000
12.772.448
PDO
13.515.000
9.036.899


Total
41.396.056
PDB
1.427.000.000
% PDB
2,91

KAI Commuter Jabodetabek
Setelah Indonesia merdeka, lokomotif-lokomotif listrik hasil elektrifikasi jalur kereta api pada zaman penjajahan masih setia melayani para pengguna angkutan kereta api di daerah Jakarta – Bogor. Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan tidak pernah membeli lokomotif listrik  untuk mengganti atau menambah jumlah lokomotif listrik yang beroperasi. Namun pada akhirnya, dengan usia yang telah mencapai setengah abad, lokomotif-lokomotif ini dipandang tidak lagi memadai  dan mulai digantikan dengan rangkaian Kereta Rel Listrik baru buatan Jepang sejak tahun 1976. KRL Jabotabek, yang sekarang dikenal bernama KA Commuter Jabodetabek, adalah jalur kereta listrik yang dioperasikan oleh PT KAI Divisi Jabotabek sebelum berubah nama menjadi PT KAI Commuter Jabodetabek.
Seiring perkembangan zaman, KRL Jabotabek yang beroperasi sekarang sudah memiliki berbagai fasilitas dan kelas, mulai dari tempat duduk yang ”empuk” hingga Air Conditioner (AC) yang menyejukkan. Saat ini ada tiga kategori atau kelas pelayanan KRL Jabodetabek (commuter), antara lain  Commuter  ekonomi non-AC, Commuter Ekonomi AC dan Commuter Ekspres AC.
Sistem pengoperasian  Commuter terpadu di wilayah Jabotabek dimulai pada tahun 2000,  saat itu pemerintah Indonesia menerima hibah 72 unit KRL. Dari jumlah tersebut, sebanyak 50 unit gerbong bisa langsung digunakan dan dioperasikan sebagai rangkaian-rangkaian KRL Pakuan yang melayani rute Jakarta – Bogor, PP.
Jumlah Penumpang dan Pendapatan Tahun 2001
Dirinci Menurut Jenis Kereta Api
No
Jenis Kereta
Jumlah penumpang
(Jiwa)
Pendapatan
(Rp)
1
Eksekutif
6.022.366
632.645.130.000
2
Bisnis
13.165.543
342.751.540.000
3
Ekonomi
18.746.465
223.332.300.000
4
Lokal
25.771.448
28.297.530.000
5
Ekonomi Jabodetabek
115.080.970
64.268.850.800
6
Ekspres Jabodetabek
6.353.332
27.831.840.500

Jumlah
185.140.124
1.319.127.191.300
KRL menjadi sarana transportasi pilihan para penglaju karena dinilai lebih ekonomis dan dapat dijangkau dengan cepat. Pengguna sarana transportasi kereta commuter sebagian besar adalah dengan maksud sekolah dan bekerja, yang dalam sepekan melakukan perjalanan antara 5-6 kali. Alasan masyarakat memilih KRL yaitu lebih murah dan lebih cepat.
Namun keterlambatan kereta  masih sering dirasakan oleh masyarakat. Gangguan utama yang dialami pengguna KRL adalah kepadatan penumpang dengan kekurangan armada kereta. Kemudian keamanan penumpang dirasakan masih kurang karena banyak pihak tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan kepadatan KRL.

Busway-Transjakarta
Dari lima aspek pengukuran yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan busway, hany satu aspek yang menunjukkan penilaian cenderung baik dan sisanya menunjukkan skor yang cenderung kurang baik. Tingkat kualitas pelayanan yang cenderung baik ditunjukkan pada hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, kenyamanan, kerapihan dan kondisi fisik bus. Sebaliknya, tingkat kualitas pelayanan yang dirasakan masih cederung kurang baik adalah ketepatan waktu, lama waktu terlambat, sikap petugas dalam memberikan pelayanan, kesopanan petugas, kemampuan dan sikap petugas dalam menanggapi masalah, pengalaman petuga di bidang pekerjaannya, keterampilan dalam memberikan layanan dan informasi, kepedulian terhadap keluhan pengguna jasa, kebersihan petugas dan kondisi fisik halte. (Chairunnisa, 2008)
Persepsi masyarakat terhadap tingkat kinerja busway Transjakarta tergolong baik, khususnya dalam kesesuaian akan kebutuhan masyarakat, pelayanan yang adil bagi penumpang dan tarif tiket. Persepsi masyarakat terhadap tingkat kualitas pelayanan tergolong kurang baik, khususnya dalam ketepatan waktu, lama waktu terlambat, sikap petugas dalam memberikan pelayanan dan informasi, kepedulian terhadap pengguna jasa, kebersihan petugas dan kondisi fisik halte bus. Masyarakat dinilai kurang puas terhadap Transjakarta-Busway, khususnya dalam hal pelayanan di loket, pelayanan di halte dan di dalam bus, jumlah kapasitas penumpang, lokasi halted an rute bus, serta jumlah armada busway.

Maskapai Penerbangan Indonesia
            Sejarah berdirinya perusahaan penerbangan pembawa bendera Negara (Flag Carrier) Indonesia tidak terpisahkan dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia mengalami masa-masa yang sulit - berjuang mempertahankan kedaulatannya, dan dalam kondisi yang serba tidak menentu setelah proklamasi kemerdekaan, para pejuang Indonesia telah memikirkan tentang pentingnya keberadaan angkutan udara nasional yang handal. Berangkat dari pemikiran para pejuang inilah yang akhirnya mewujudkan hadirnya sebuah maskapai penerbangan pembawa bendera nasional.
Sebagai national flag carrier, yang selanjutnya oleh Soekarno diberi nama Garuda Indonesian Airways, harus selalu siap melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Adapun tugas kenegaraan pertama adalah membawa Soekarno dari Yogkakarta menuju Jakarta untuk dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949.
Garuda Indonesia resmi menjadi Perusahaan Negara pada tahun 1950, yang kemudian berubah berdasarkan akta No. 8 tanggal 4 Maret 1975 dari Notaris Soeleman Ardjasasmita, S.H., sebagai realisasi peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1971, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (RI) No. 68 tanggal 26 Agustus 1975.
Menurut Akte Pendirian Perusahaan, tujuan Perusahaan adalah melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan program Pemerintah di bidang pembangunan dan ekonomi nasional pada umumnya, khususnya di bidang jasa pengangkutan udara dan bidang lainnya yang berkaitan dengan jasa pengangkutan udara serta memupuk keuntungan bagi perseroan dengan menyelenggarakan angkutan penerbangan.
Garuda Indonesia menjalankan kegiatan usaha di bidang-bidang sebagai berikut:
  1. Pengangkutan udara penumpang, barang dan pos dalam negeri dan luar negeri
  2. Pengangkutan udara borongan untuk penumpang dan barang dalam negeri dan luar negeri
  3. Jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan pengangkutan udara
  4. Jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pengangkutan udara
  5. Jasa pelayanan kesehatan personil penerbangan.Ketepatan waktu
Garuda Indonesia per akhir 2008 mengoperasikan 54 pesawat terbang, termasuk tiga Boeing 747-400, enam Airbus 330-300, empat puluh lima pesawat Boeing 737 (300, 400, 500 dan 800) dan saat ini melayani 50 penerbangan baik tujuan dalam negeri maupun luar negeri.
Ulasan situs Forbestraveler.com menempatkan Bandara Soekarno Hatta (Soetta) sebagai bandara nomor dua paling tepat waktu di dunia. Untuk maskapai domestik, Garuda Indonesia keluar sebagai pemenang, mengungguli 5 pesaingnya. Garuda Indonesia mencatat ketepatan waktu kedatangannya 92,55 persen dan ketepatan keberangkatan 98,13 persen. Pada tahun 2002 Garuda Indonesia dinobatkan menjadi pemenang untuk kategori ketepatan waktu. Garuda Indonesia mengalahkan maskapai negara lain seperti KLM dan Singapore Airlines. Penganugerahan itu diberikan Bandar Udara Schiphol, Belanda. Ketepatan terkait dengan waktu kedatangan dan keberangkatan.
Keselamatan dan kenyamanan
Dalam usaha peningkatan aspek keselamatan dan kenyamanan Garuda Indonesia mendapatkan sertifikasi internasional mengenai keselamatan dan kemanan internasional dan penurunan tingkat kecelakaan.
  1. IOSA Certification
Setelah melalui proses yang cukup panjang, Garuda Indonesia berhasil meraih  IATA Operational Safety Audit (IOSA) Certification yang merupakan sertifikasi tingkat dunia terhadap keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah terakreditasi secara internasional. Garuda menjadi maskapai pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang memiliki sertifikasi IOSA ini.
  1. Incide Rate (2002-2008)
Upaya meningkatkan keselamatan penerbangan juga bisa diukur dari tingkat  Incident Rate. Berdasarkan data sejak tahun 2002 hingga 2008, tren  Incident Rate menunjukan penurunan. Incident Rate tahun 2008 adalah 0,41/ 1.000 departure, yang terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal keselamatan, Garuda Indonesia tercatat beberapa kali menghadapi musibah kecelakaan, yaitu:
  1. 6 Maret 1979 - Garuda Indonesia Penerbangan 553 menabrak lereng Gunung Bromo di ketinggian 6.200 kaki menewaskan keempat awaknya.
  2. 11 Juli 1979 - Fokker F-28 Garuda Indonesia menabrak lereng Gunung Pertektekan menewaskan 57 penumpang beserta 4 orang awaknya.
  3. 20 Maret 1982 - Fokker F-28 Garuda Indonesia terperosok setelah mendarat di Bandara Branti, Lampung menewaskan 23 penumpang beserta 4 orang awaknya
  4. 17 Juni 1996 -Mcdonnel Douglas DC-10 Garuda Indonesia 865, pesawat terbakar setelah overrun akibat aborting take off oleh penerbangnya di Bandara Fukuoka, Jepang saat akan take off menuju Jakarta, Indonesia. 3 dari 275 penumpang tewas.
  5. 26 September 1997 - Garuda Indonesia Penerbangan 152 jatuh di Desa Buah Nabar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah 222 penumpang dan 12 awak pesawat. Kecelakaan ini merupakan yang terburuk di sejarah penerbangan Indonesia.
  6. 17 Januari 2002 - Garuda Indonesia Penerbangan 421 mendarat darurat di Bengawan Solo menewaskan 1 awak pesawat.
  7. 7 Maret 2007 - Garuda Indonesia Penerbangan 200 terbakar dan meledak sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Adi Sutjipto Kota Yogyakarta. Sedikitnya 22 orang meninggal dunia. Pesawat tersebut membawa penumpang sebanyak 133 orang dan 7 awak.

Kepadatan
Jumlah penumpang domestik yang diangkut oleh seluruh maskapai penerbangan domestik meningkat hanya 2,4% dari 31,2 juta orang pada tahun 2007 menjadi 31,9 orang pada tahun 2008, sesuai laporan BPS. Laju pertumbuhan trafik penumpang mengalami tekanan dan pada triwulan ketiga dan keempat mengalami penurunan masing-masing 9,9% dan 7,9%. Hal ini disebabkan oleh:
  1. kenaikan harga tiket setelah diterapkan kebijakan fuel surcharge
  2. penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat kenaikan harga BBM bersubsidi dan inflasi yang melonjak
  3. penurunan kapasitas industri penerbangan domestik yang disebabkan oleh pelarangan terbang pesawat Adam Air. Mulai tanggal 19 Maret 2008, Departemen Perhubungan RI memberlakukan larangan terbang pada seluruh armada pesawat Adam Air, setelah ditemukan beberapa kelemahan yang membahayakan keselamatan penerbangan.
Di mana per akhir 2008 Garuda Indonesia mengoperasikan 54 armada pesawat terbang.

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com