Indonesia adalah
negara kepulauan, terdiri atas 5 pulau besar, ratusan pulau sedang serta ribuan
pulau kecil. Ribuan pulau ini dipersatukan laut dan angkasa menjadi negara
kesatuan Republik Indonesia. Laut dan angkasa adalah prasarana perangkutan yang
harus dipandang sebagai pemersatu pulau-pulau menjadi kesatuan wilayah negara,
bukan lagi sebagai pemisah antara satu pulau dengan pulau lainnya. (Warpani,
1997)
Rentang wilayah negara
mengharuskan penanganan moda transportasi angkutan darat, laut dan udara secara
terpadu untuk mewujudkan sistem angkutan nasional yang andal, efektif dan
efisien. Setiap moda angkutan memiliki karakter khas, keunggulan dan
kelemahannya. Moda transportasi darat, laut dan udara harus menjadi kesatuan sistem
agar dapat menjawab tujuan perangkutan, yakni melayani perpindahan atau
mobilisasi orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain.
Untuk menjawab
tantangan itu, disusun Sistem
Transportasi Nasional (Sistranas) yang bertujuan mewujudkan perangkutan
yang andal dan berkemampuan tinggi dalam menunjang sekaligus menggerakkan
dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang dan jasa, membantu
terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan
wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan peningkatan hubungan
internasional.
Moda transportasi
darat dalam sistem angkutan di Indonesia terdiri atas angkutan jalan, angkutan jalan
rel serta angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Jaringan perangkutan darat
tersusun dalam suatu jaringan pelayanan yang menghubungkan seluruh pusat
kegiatan di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dalam seluruh sistem yang terdiri
atas matra darat, laut dan udara, jaringan angkutan darat menjadi titik simpul
antarmoda yang vital. Ia menjadi mata rantai awal/akhir moda angkutan laut dan
udara pada titik terminal yang semuanya di daratan.
Kota Jakarta sebagai ibukota negara dengan
beragam aktivitas yang tentunya melibatkan banyak sekali individu dalam sistem
yang berlaku di dalamnya. Daerah
hinterland yang menjadi tujuan untuk bertempat tinggal adalah Bogor,
Depok, Tanggerang dan Bekasi (Bodetabek). Penduduk pinggiran dalam melakukan
aktivitas kesehariannya termasuk kedalam kelompok penglaju (commuter).
Data yang
diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunjukkan, kebutuhan perjalanan
per hari dengan angkutan umum dari Bodetabek ke Jakarta dan sebaliknya makin
meningkat. Pada tahun 2002, misalnya, tercatat 7,3 juta perjalanan per hari,
tahun 2010 diperkirakan menjadi 9,9 juta perjalanan per hari, dan pada tahun
2020 meningkat menjadi 13 juta perjalanan setiap hari. Perjalanan ulang alik
Tangerang-Jakarta pada tahun 2010 akan mencapai 1.078.963 dan tahun 2010
menjadi 1.465.912. Adapun perjalanan Bogor-Depok-Jakarta dan sebaliknya pa- da
tahun 2010 diperkirakan 791.295 dan pada tahun 2020 melesat menjadi 1.148.528.
Perjalanan Bekasi-Jakarta dan sebaliknya cenderung lebih rendah. Tahun 2010
diprediksi 693.099 dan tahun 2020 mencapai 940.834. Angka-angka prediksi ini
masuk akal karena pertumbuhan kawasan perumahan baru ke arah Tangerang dan
Banten, juga masih ke arah Depok dan Bogor.
Mobilitas masyarakat yang semakin berkembang
sangat menuntut tersedianya pelayanan angkutan umum, disamping prasarana jalan
untuk mengakomodasi permintaan perjalanan tersebut. Dalam penyediaan sarana
transportasi juga perlu diperhatikan kualitas layanan, terutama keselamatan. Dalam
Bab I UU No. 22 tahun 2009, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan
diartikan sebagai suatu keadaan tehindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan
selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan/atau
lingkungan. Keselamatan transportasi di Indonesia nampaknya masih menjadi
perhatian besar. Tingginya tingkat kecelakaan menjadi penyebabnya. Isu yang
menjadi penyebab tingginya tingkat kecelakaan tersebut di antaanya adalah isu
sumber daya manusia (human resources
issues), isu utama (main issues),
isu fasilitas (facility issues), isu
infrastruktur (infrastructure issues).
(http://www.dephub.go.id/)
Isu sumber daya
manusia (human resources issues)
yaitu rendahnya kedisiplinan akan aturan lalu lintas, rendahnya kesadaran akan
keselamatan publik, official competency
dalan keselamatan lalu lintas masih belum mencukupi. Isu utama (main issues) yaitu rendahnya koordinsi antara stekeholders dengan safety handling, kurangnya dukungan organisasi dan financial,
penegakan hukum yang tidak membawa efek jera dan sistem informasi yang belum
mencukupi. Isu fasilitas (facility issues)
yaitu keadilan kendaraan bermotor, ketersediaan safety facility bagi kendaraan, desain dan teknologi kendaraan,
pemeliharaan kendaraan. Isu infrastruktur (infrastructure
issues) yaitu kondisi jalan dan jembatan, jalan kereta api, rambu-rambu
lalu lintas, peralatan penguji kendaraan, jembatan timbang.
How Much is National Loss?
(estimated)
Condition
|
Numbers of victim
|
Total cost (million Rp)
|
Fatal
|
30.464
|
9.972.037
|
Serious
|
450.000
|
9.614.672
|
Slight
|
2.100.000
|
12.772.448
|
PDO
|
13.515.000
|
9.036.899
|
|
Total
|
41.396.056
|
PDB
|
1.427.000.000
|
|
% PDB
|
2,91
|
KAI
Commuter Jabodetabek
Setelah Indonesia
merdeka, lokomotif-lokomotif listrik hasil elektrifikasi jalur kereta api pada
zaman penjajahan masih setia melayani para pengguna angkutan kereta api di
daerah Jakarta – Bogor. Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan tidak pernah
membeli lokomotif listrik untuk mengganti atau menambah jumlah lokomotif
listrik yang beroperasi. Namun pada akhirnya, dengan usia yang telah mencapai
setengah abad, lokomotif-lokomotif ini dipandang tidak lagi memadai dan
mulai digantikan dengan rangkaian Kereta Rel Listrik baru buatan Jepang sejak
tahun 1976. KRL Jabotabek, yang
sekarang dikenal bernama KA Commuter
Jabodetabek, adalah jalur kereta listrik yang dioperasikan oleh PT KAI
Divisi Jabotabek sebelum berubah nama menjadi PT KAI Commuter Jabodetabek.
Seiring
perkembangan zaman, KRL Jabotabek yang
beroperasi sekarang sudah memiliki berbagai fasilitas dan kelas, mulai dari
tempat duduk yang ”empuk” hingga Air Conditioner (AC) yang
menyejukkan. Saat ini ada tiga kategori atau kelas pelayanan KRL Jabodetabek (commuter),
antara lain Commuter ekonomi
non-AC, Commuter Ekonomi
AC dan Commuter Ekspres
AC.
Sistem
pengoperasian Commuter
terpadu di wilayah Jabotabek dimulai pada tahun 2000, saat itu pemerintah
Indonesia menerima hibah 72 unit KRL. Dari jumlah tersebut, sebanyak 50 unit
gerbong bisa langsung digunakan dan dioperasikan sebagai rangkaian-rangkaian
KRL Pakuan yang melayani rute Jakarta – Bogor, PP.
Jumlah Penumpang
dan Pendapatan Tahun 2001
Dirinci Menurut
Jenis Kereta Api
No
|
Jenis Kereta
|
Jumlah
penumpang
(Jiwa)
|
Pendapatan
(Rp)
|
1
|
Eksekutif
|
6.022.366
|
632.645.130.000
|
2
|
Bisnis
|
13.165.543
|
342.751.540.000
|
3
|
Ekonomi
|
18.746.465
|
223.332.300.000
|
4
|
Lokal
|
25.771.448
|
28.297.530.000
|
5
|
Ekonomi Jabodetabek
|
115.080.970
|
64.268.850.800
|
6
|
Ekspres Jabodetabek
|
6.353.332
|
27.831.840.500
|
|
Jumlah
|
185.140.124
|
1.319.127.191.300
|
KRL menjadi sarana transportasi pilihan para
penglaju karena dinilai lebih ekonomis dan dapat dijangkau dengan cepat.
Pengguna sarana transportasi kereta commuter
sebagian besar adalah dengan maksud sekolah dan bekerja, yang dalam sepekan
melakukan perjalanan antara 5-6 kali. Alasan masyarakat memilih KRL yaitu lebih
murah dan lebih cepat.
Namun keterlambatan kereta masih sering dirasakan oleh masyarakat.
Gangguan utama yang dialami pengguna KRL adalah kepadatan penumpang dengan
kekurangan armada kereta. Kemudian keamanan penumpang dirasakan masih kurang
karena banyak pihak tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan kepadatan KRL.
Busway-Transjakarta
Dari lima aspek
pengukuran yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan busway, hany satu
aspek yang menunjukkan penilaian cenderung baik dan sisanya menunjukkan skor
yang cenderung kurang baik. Tingkat kualitas pelayanan yang cenderung baik ditunjukkan
pada hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, kenyamanan, kerapihan dan kondisi
fisik bus. Sebaliknya, tingkat kualitas pelayanan yang dirasakan masih cederung
kurang baik adalah ketepatan waktu, lama waktu terlambat, sikap petugas dalam
memberikan pelayanan, kesopanan petugas, kemampuan dan sikap petugas dalam
menanggapi masalah, pengalaman petuga di bidang pekerjaannya, keterampilan
dalam memberikan layanan dan informasi, kepedulian terhadap keluhan pengguna
jasa, kebersihan petugas dan kondisi fisik halte. (Chairunnisa, 2008)
Persepsi
masyarakat terhadap tingkat kinerja busway Transjakarta tergolong baik,
khususnya dalam kesesuaian akan kebutuhan masyarakat, pelayanan yang adil bagi
penumpang dan tarif tiket. Persepsi masyarakat terhadap tingkat kualitas
pelayanan tergolong kurang baik, khususnya dalam ketepatan waktu, lama waktu
terlambat, sikap petugas dalam memberikan pelayanan dan informasi, kepedulian
terhadap pengguna jasa, kebersihan petugas dan kondisi fisik halte bus.
Masyarakat dinilai kurang puas terhadap Transjakarta-Busway, khususnya dalam
hal pelayanan di loket, pelayanan di halte dan di dalam bus, jumlah kapasitas
penumpang, lokasi halted an rute bus, serta jumlah armada busway.
Maskapai
Penerbangan Indonesia
Sejarah
berdirinya perusahaan penerbangan pembawa bendera Negara (Flag Carrier)
Indonesia tidak terpisahkan dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ketika
bangsa Indonesia mengalami masa-masa yang sulit - berjuang mempertahankan
kedaulatannya, dan dalam kondisi yang serba tidak menentu setelah proklamasi
kemerdekaan, para pejuang Indonesia telah memikirkan tentang pentingnya
keberadaan angkutan udara nasional yang handal. Berangkat dari pemikiran para
pejuang inilah yang akhirnya mewujudkan hadirnya sebuah maskapai penerbangan
pembawa bendera nasional.
Sebagai national flag carrier,
yang selanjutnya oleh Soekarno diberi nama Garuda Indonesian Airways, harus
selalu siap melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Adapun tugas kenegaraan
pertama adalah membawa Soekarno dari Yogkakarta menuju Jakarta untuk dilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949.
Garuda Indonesia resmi menjadi Perusahaan Negara pada tahun 1950, yang
kemudian berubah berdasarkan akta No. 8 tanggal 4 Maret 1975 dari Notaris
Soeleman Ardjasasmita, S.H., sebagai realisasi peraturan Pemerintah No. 67
tahun 1971, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (RI) No. 68
tanggal 26 Agustus 1975.
Menurut Akte Pendirian Perusahaan, tujuan Perusahaan adalah melaksanakan
dan menunjang kebijaksanaan dan program Pemerintah di bidang pembangunan dan
ekonomi nasional pada umumnya, khususnya di bidang jasa pengangkutan udara dan
bidang lainnya yang berkaitan dengan jasa pengangkutan udara serta memupuk
keuntungan bagi perseroan dengan menyelenggarakan angkutan penerbangan.
Garuda Indonesia menjalankan kegiatan usaha di bidang-bidang sebagai
berikut:
- Pengangkutan udara penumpang, barang dan pos dalam negeri dan luar negeri
- Pengangkutan udara borongan untuk penumpang dan barang dalam negeri dan luar negeri
- Jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan pengangkutan udara
- Jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pengangkutan udara
- Jasa pelayanan kesehatan personil penerbangan.Ketepatan waktu
Garuda Indonesia per akhir 2008 mengoperasikan 54 pesawat terbang,
termasuk tiga Boeing 747-400, enam Airbus 330-300, empat puluh lima pesawat
Boeing 737 (300, 400, 500 dan 800) dan saat ini melayani 50 penerbangan baik
tujuan dalam negeri maupun luar negeri.
Ulasan situs Forbestraveler.com menempatkan Bandara Soekarno Hatta
(Soetta) sebagai bandara nomor dua paling tepat waktu di dunia. Untuk maskapai
domestik, Garuda Indonesia keluar sebagai pemenang, mengungguli 5 pesaingnya.
Garuda Indonesia mencatat ketepatan waktu kedatangannya 92,55 persen dan
ketepatan keberangkatan 98,13 persen. Pada tahun 2002 Garuda Indonesia
dinobatkan menjadi pemenang untuk kategori ketepatan waktu. Garuda Indonesia
mengalahkan maskapai negara lain seperti KLM dan Singapore Airlines.
Penganugerahan itu diberikan Bandar Udara Schiphol, Belanda. Ketepatan terkait
dengan waktu kedatangan dan keberangkatan.
Keselamatan dan
kenyamanan
Dalam usaha
peningkatan aspek keselamatan dan kenyamanan Garuda Indonesia mendapatkan
sertifikasi internasional mengenai keselamatan dan kemanan internasional dan
penurunan tingkat kecelakaan.
- IOSA Certification
Setelah melalui proses yang cukup panjang, Garuda Indonesia berhasil
meraih IATA Operational Safety Audit
(IOSA) Certification yang merupakan sertifikasi tingkat dunia terhadap
keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah terakreditasi secara
internasional. Garuda menjadi maskapai pertama dan satu-satunya dari Indonesia
yang memiliki sertifikasi IOSA ini.
- Incide Rate (2002-2008)
Upaya meningkatkan keselamatan penerbangan juga bisa diukur dari
tingkat Incident Rate. Berdasarkan data
sejak tahun 2002 hingga 2008, tren
Incident Rate menunjukan penurunan. Incident Rate tahun 2008 adalah
0,41/ 1.000 departure, yang terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal keselamatan, Garuda Indonesia tercatat beberapa kali menghadapi
musibah kecelakaan, yaitu:
- 6 Maret 1979 - Garuda Indonesia Penerbangan 553 menabrak lereng Gunung Bromo di ketinggian 6.200 kaki menewaskan keempat awaknya.
- 11 Juli 1979 - Fokker F-28 Garuda Indonesia menabrak lereng Gunung Pertektekan menewaskan 57 penumpang beserta 4 orang awaknya.
- 20 Maret 1982 - Fokker F-28 Garuda Indonesia terperosok setelah mendarat di Bandara Branti, Lampung menewaskan 23 penumpang beserta 4 orang awaknya
- 17 Juni 1996 -Mcdonnel Douglas DC-10 Garuda Indonesia 865, pesawat terbakar setelah overrun akibat aborting take off oleh penerbangnya di Bandara Fukuoka, Jepang saat akan take off menuju Jakarta, Indonesia. 3 dari 275 penumpang tewas.
- 26 September 1997 - Garuda Indonesia Penerbangan 152 jatuh di Desa Buah Nabar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah 222 penumpang dan 12 awak pesawat. Kecelakaan ini merupakan yang terburuk di sejarah penerbangan Indonesia.
- 17 Januari 2002 - Garuda Indonesia Penerbangan 421 mendarat darurat di Bengawan Solo menewaskan 1 awak pesawat.
- 7 Maret 2007 - Garuda Indonesia Penerbangan 200 terbakar dan meledak sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Adi Sutjipto Kota Yogyakarta. Sedikitnya 22 orang meninggal dunia. Pesawat tersebut membawa penumpang sebanyak 133 orang dan 7 awak.
Kepadatan
Jumlah penumpang
domestik yang diangkut oleh seluruh maskapai penerbangan domestik meningkat
hanya 2,4% dari 31,2 juta orang pada tahun 2007 menjadi 31,9 orang pada tahun
2008, sesuai laporan BPS. Laju pertumbuhan trafik penumpang mengalami tekanan
dan pada triwulan ketiga dan keempat mengalami penurunan masing-masing 9,9% dan
7,9%. Hal ini disebabkan oleh:
- kenaikan harga tiket setelah diterapkan kebijakan fuel surcharge
- penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat kenaikan harga BBM bersubsidi dan inflasi yang melonjak
- penurunan kapasitas industri penerbangan domestik yang disebabkan oleh pelarangan terbang pesawat Adam Air. Mulai tanggal 19 Maret 2008, Departemen Perhubungan RI memberlakukan larangan terbang pada seluruh armada pesawat Adam Air, setelah ditemukan beberapa kelemahan yang membahayakan keselamatan penerbangan.
Di mana per
akhir 2008 Garuda Indonesia mengoperasikan 54 armada pesawat terbang.
0 komentar:
Posting Komentar